Rabu, 22 April 2015

Gejolak dan Goncangan Perang Kurs

Dunia kembali dilanda perang pada akhir 2010 ini. Perang kurs (currency wars) tepatnya. Perang kurs pada awalnya terjadi karena China ditengarai dengan sengaja mendevaluasikan mata uang Yuan (atau Renminbi). Penurunan mata uang China hingga 40 persen dari seharusnya turut andil dalam peningkatan cadangan devisa China sebesar US 2,65 triliun. Upaya China dengan mendevaluasikan mata uangnya tidak lain adalah guna mendorong kinerja ekspor (competitive devaluation).
Kondisi tersebutlah yang membuat AS menjadi 'berang' karena khawatir perekonomiannya akan dibanjiri produk-produk dari China sehingga penurunan pertumbuhan ekonomi dan ancaman pengangguran bisa saja terjadi di AS. Gubernur Bank Sentral AS (The FED) Ben Bernanke, secara jelas mengkritik bahwa China dan negara lain yang melemahkan mata uangnya dapat menyebabkan masalah dalam perekonomian global.
Menyikapi kondisi demikian Bank Sentral AS juga memutuskan untuk membeli US$ 600 miliar surat utang pemerintah (treasury bond) guna mendorong penurunan tingkat bunga jangka panjang di AS. Harapanya ketika tingkat bunga mengalami penurunan akan dapat memompa aliran modal keluar dari perekonomian AS. Selain itu kurs Dollar terhadap mata uang lain diharapkan juga melemah sehingga bisa mendorong ekspor AS yang tengah melemah.
Kebijakan yang dilakukan The FED juga bisa menimbulkan masalah. Berbagai kritik juga mencuat dengan kebijakan tersebut. Dari sisi domestik sangat rendahnya tingkat bunga bisa memicu terjadinya inflasi. Dampak eksternal, rendahnya tingkat bunga di AS, akan mendorong aliran modal dari AS menuju negara dengan tingkat bunga yang masih tinggi yakni ke emerging market countrys termasuk Indonesia. 

Dampak Rupiah
Dampak langsung yang dirasakan Indonesia sebagai akibat dari perang kurs adalah apresiasi nilai tukar yang mulai terjadi sejak awal Oktober tahun ini. Sampai pekan ke tiga Nopember Rupiah masih pada berada pada kisaran Rp 8,900.00 per US$. Jika penguatan terjadi secara tajam Rupiah berpotensi mengalami overvalued dan bisa mengancam keseimbangan neraca perdagangan. 
Rupiah masih bisa menguat di bawah level Rp 8,900.00 per US$ karena melihat kebijakan moneter ekspansif yang dilakukan oleh beberapa negara termasuk Amerika. Sehingga, aliran modal panas (hot money) masih berpotensi membanjiri perekonomian Indonesia. Risiko bubble economy juga bisa terjadi jika kondisi berbalik arah dan Rupiah bisa terkoreksi negatif dengan cukup tajam.
Upaya intervensi Rupiah secara langsung memang sulit dilakukan. Selisih tingkat bunga AS dan di Indonesia saat ini mencapai lebih dari 6 persen sehingga akan terasa mahal jika BI melakukan intervensi langsung. Selain itu cadangan devisa yang kita miliki juga belum bisa mendukung BI untuk intervensi aktif terhadap Rupiah. Maka diperlukan kebijakan yang komperehensif yang mencakup kebijakan fiskal dan moneter oleh BI dan Pemerintah.

SARAN :
Sebaiknya China menaikkan mata uang nya, dan tidak mengedepankan ego guna mendorong ekspansi ekonominya dengan melakukan kebijakan devaluasi mata uang maka potensi terjadinya krisis ekonomi besar akan semakin nyata.
Oleh karena itu dibutuhkan semacam konsensus internasional yang difasilitasi oleh IMF dan Bank Dunia untuk mensepakati penghentian perang kurs sekarang ini. IMF dan Bank Dunia bisa memberikan punishment ketika negara tetap mendevaluasi mata uangnya ketika negara-negara lain sepakat untuk menghentikan intervensi terhadap nilai tukarnya.

Dan untuk Indonesia, BI dapat mengambil alternatif melakukan kebijakan moneter ekspansif dengan menurunkan tingkat bunga secara bertahap. Kebijakan BI yang tidak menjual SBI tenor 1 (satu) bulan merupakan langkah yang tepat guna menahan aliran modal berlama-lama dalam perekonomian. Pemerintah seharusnya membuat aturan yang memfasilitasi pengalihan aliran dana dari sektor finansial ke sektor riil sehingga akan meminimalisir terjadinya capital rush.