Dunia kembali dilanda perang pada akhir 2010 ini. Perang kurs (currency
wars) tepatnya. Perang kurs pada awalnya terjadi karena China ditengarai dengan
sengaja mendevaluasikan mata uang Yuan (atau Renminbi). Penurunan mata
uang China hingga 40 persen dari seharusnya turut andil dalam peningkatan
cadangan devisa China sebesar US 2,65 triliun. Upaya China dengan mendevaluasikan
mata uangnya tidak lain adalah guna mendorong kinerja ekspor (competitive
devaluation).
Kondisi tersebutlah yang membuat AS menjadi 'berang' karena khawatir
perekonomiannya akan dibanjiri produk-produk dari China sehingga penurunan
pertumbuhan ekonomi dan ancaman pengangguran bisa saja terjadi di AS. Gubernur
Bank Sentral AS (The FED) Ben Bernanke, secara jelas mengkritik bahwa China dan
negara lain yang melemahkan mata uangnya dapat menyebabkan masalah dalam
perekonomian global.
Menyikapi kondisi demikian Bank Sentral AS juga memutuskan untuk membeli
US$ 600 miliar surat utang pemerintah (treasury bond) guna mendorong penurunan
tingkat bunga jangka panjang di AS. Harapanya ketika tingkat bunga mengalami
penurunan akan dapat memompa aliran modal keluar dari perekonomian AS. Selain
itu kurs Dollar terhadap mata uang lain diharapkan juga melemah sehingga bisa
mendorong ekspor AS yang tengah melemah.
Kebijakan yang dilakukan The FED juga bisa menimbulkan masalah. Berbagai
kritik juga mencuat dengan kebijakan tersebut. Dari sisi domestik sangat
rendahnya tingkat bunga bisa memicu terjadinya inflasi. Dampak eksternal,
rendahnya tingkat bunga di AS, akan mendorong aliran modal dari AS menuju
negara dengan tingkat bunga yang masih tinggi yakni ke emerging market countrys
termasuk Indonesia.
Dampak Rupiah
Dampak langsung yang dirasakan Indonesia sebagai akibat dari perang kurs
adalah apresiasi nilai tukar yang mulai terjadi sejak awal Oktober tahun ini.
Sampai pekan ke tiga Nopember Rupiah masih pada berada pada kisaran Rp 8,900.00
per US$. Jika penguatan terjadi secara tajam Rupiah berpotensi mengalami
overvalued dan bisa mengancam keseimbangan neraca perdagangan.
Rupiah masih bisa menguat di bawah level Rp 8,900.00 per US$ karena
melihat kebijakan moneter ekspansif yang dilakukan oleh beberapa negara
termasuk Amerika. Sehingga, aliran modal panas (hot money) masih berpotensi
membanjiri perekonomian Indonesia. Risiko bubble economy juga bisa terjadi jika
kondisi berbalik arah dan Rupiah bisa terkoreksi negatif dengan cukup tajam.
Upaya intervensi Rupiah secara langsung memang sulit dilakukan. Selisih
tingkat bunga AS dan di Indonesia saat ini mencapai lebih dari 6 persen
sehingga akan terasa mahal jika BI melakukan intervensi langsung. Selain itu
cadangan devisa yang kita miliki juga belum bisa mendukung BI untuk intervensi
aktif terhadap Rupiah. Maka diperlukan kebijakan yang komperehensif yang
mencakup kebijakan fiskal dan moneter oleh BI dan Pemerintah.
SARAN :
Sebaiknya China menaikkan mata uang nya, dan tidak mengedepankan ego guna
mendorong ekspansi ekonominya dengan melakukan kebijakan devaluasi mata uang
maka potensi terjadinya krisis ekonomi besar akan semakin nyata.
Oleh karena itu dibutuhkan semacam konsensus internasional yang
difasilitasi oleh IMF dan Bank Dunia untuk mensepakati penghentian perang kurs
sekarang ini. IMF dan Bank Dunia bisa memberikan punishment ketika negara tetap
mendevaluasi mata uangnya ketika negara-negara lain sepakat untuk menghentikan
intervensi terhadap nilai tukarnya.
Dan untuk Indonesia, BI dapat mengambil alternatif melakukan kebijakan
moneter ekspansif dengan menurunkan tingkat bunga secara bertahap. Kebijakan BI
yang tidak menjual SBI tenor 1 (satu) bulan merupakan langkah yang tepat guna
menahan aliran modal berlama-lama dalam perekonomian. Pemerintah seharusnya membuat
aturan yang memfasilitasi pengalihan aliran dana dari sektor finansial ke
sektor riil sehingga akan meminimalisir terjadinya capital rush.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar