I.
PENDAHULUAN
I.I Kata Pengantar
Puji syukur
penulis panjatkan kehadirat Allah SWT, yang atas rahmat-Nya maka
penulis dapat menyelesaikan penyusunan Karya Tulisan yang bertema
Strategi Pemecahan Krisis Utang di Negara Berkembang Indonesia Secara Global
Penulisan karya tulis
adalah merupakan salah satu tugas dan persyaratan untuk menyelesaikan tugas
mata kuliah
Softskill .
Dalam Penulisan
Karya Tulis
ini penulis merasa masih banyak kekurangan-kekurangan baik pada teknis
penulisan maupun materi, mengingat akan kemampuan yang dimiliki penulis. Untuk
itu kritik dan saran dari semua pihak sangat penulis harapkan demi
penyempurnaan pembuatan makalah ini.
Dalam penulisan
karya tulis
ini penulis menyampaikan ucapan terima kasih yang tak terhingga kepada
pihak-pihak yang membantu dalam menyelesaikan tugas ini.
Akhirnya
penulis berharap semoga Allah memberikan imbalan yang setimpal pada mereka yang
telah memberikan bantuan, dan dapat menjadikan semua bantuan ini sebagai
ibadah, Amiin Yaa Robbal ‘Alamiin.
I.II Latar Belakang
Krisis utang
yang terjadi di negara berkembang kini meningkat , bukan hanya di negara
berkembang saja di berbagai negara industri pun sedang mengalami juga. Salah
satu beban ekonomi Indonesia adalah utang luar negeri yang terus membengkak,
Utang ini sudah begitu berat mengingat pembayaran cicilan dan bunganya yang
begitu besar. Biaya ini sudah melewati kapasitas yang wajar sehingga biaya
untuk kepentingan-kepentingan yang begitu mendasar dan mendesak menjadi sangat
minim yang berimplikasi sangat luas. Sebagai negara berkembang yang sedang
membangun, yang memiliki ciri-ciri dan persoalan ekonomi, politik, sosial dan
budaya yang hampir sama dengan negara berkembang lainnya,Indonesia sendiri
tidak terlepas dari masalah utang luar negeri, dalam kurun waktu 25 tahun
terakhir,utang luar negeri telah memberikan sumbangan yang cukup besar bagi
pembangunan di Indonesia. Bahkan utang luar negeri telah menjadi sumber utama
untuk menutupi defisit Anggaran Pendapatan Belanja Negara (APBN) dan memberikan
kontribusi yang berarti bagi pertumbuhan Produk Domestik Bruto (PDB) yang pada
akhirnya dapat meningkatkan pertumbuhan ekonomi.Meskipun utang luar negeri (foreign
debt) sangat membantu mentupi kekurangan biaya pembangunan dalam Anggaran
Pendapatan Belanja Negara (APBN) namun persoalan pembayaran cicilan dan bunga
menjadi beban yang terus-menerus harus dilaksanakan,apalagi nilai kurs rupiah
terhadap dollar cenderung tidak stabil setiap hari bahkan setiap tahunnya.
Utang luar
negeri Indonesia pada 2012 mencapai Rp 1.937 triliun atau naik sekitar Rp 600
triliun dalam waktu kurang dari 5 tahun. Saat ini, utang sudah bertambah
menjadi Rp 134 triliun. Jika dibandingkan dengan total utang sejak 1945 hingga
2007, yang berjumlah Rp 1.300 triliun atau Rp 1,3 kuadriliun, maka utang yang
dibuat SBY dalam 5 tahun terakhir setara dengan 50 persen utang Indonesia
selama 67 tahun. Juru bicara LSM Bendera, Mustar Bona Ventura, mengatakan,
bunga yang dibayarkan tahun ini mencapai 90 persen dari utang. Jika Indonesia
berani menghentikan utang baru dan mulai membayar cicilan, yaitu sebesar Rp 50
triliun per tahun atau Rp 1,1 triliun per minggu, maka utang pokok akan lunas
sekitar 40 tahun. Jika yang dilunasi berikut dengan bunga berbunganya, maka
kemungkinan utang baru lunas 100 tahun dari hari ini, yaitu tahun 2112.
Menghentikan utang dengan penghematan anggaran tidak mungkin terjadi, Jika
dilihat dari pola hidup mewah pejabat, biaya rapat kabinet sebesar Rp 30 miliar
per tahun, serta pejabat maupun kader Partai Demokrat yang terlibat korupsi,
maka sulit SBY mampu melakukan penghematan besar-besaran di semua sektor.
Jika dibiarkan
utang meningkat secara terus-menerus akan berdampak , yang disebut Bom Utang
, reduksi impor di negara berkembang berarti berkurangnya ekspor, dan
selanjutnya lapangan kerja. Dengan adanya krisis ekonomi tersebut kinerja
perbankan Indonesia terus menunjukkan perkembangan yang memburuk. Hal ini
ditandai dengan hilangnya kepercayaan masyarakat dengan terjadinya penarikan
besar-besaran (Rush) yang berdampak para investor asing maupun lokal tidak mau
berinvestasi. Namun , bukan hanya itu masalah politik kericuhan sosial dan
politik di negara yang terbelit utang tidak stabil. Masalah utang menimbulkan
dampak yang lebih luas secara internasional.
Pertumbuhan ekonomi yang tidak stabil dan pola perkembangan yang tidak sehat
harus segara dipulihkan. Untuk mencapai hal itu, beban utang harus dikurangi.
Pertumbuhan ekonomi (growth) merupakan salah satu indikator perekonomian
yang dipengaruh oleh berbagai macam variabel, salah satunya adalah Produk
Domestik Bruto (PDB). Hutang luar negeri (foreign debt) adalah variabel
yang bisa saja mendorong perekonomian sekaligus menghambat pertumbuhan ekonomi.
Mendorong perekonomian maksudnya,jika hutang-hutang tersebut digunakan untuk
membuka lapangan kerja dan investasi dibidang pembangunan yang pada akhirnya
dapat mendorong suatu perekonomian,sedangkan menghambat pertumbuhan apabila
utang-utang tersebut tidak dipergunakan secara maksimal karena masih kurangnya
fungsi pengawasan dan integritas atas penanggung jawab utang-utang itu sendiri.
II.
ISI
a. Masalah
Utang Negara Berkembang
Masalah utang
negara berkembang akan bersifat jangka pendek, disebut masalah likuiditas.
Penyelesaiannya berupa penyesuaian struktural, penyesuaian-penyesuaian ini
tidak mudah dilakukan dan memerlukan waktu, tetapi bank-bank menganggap negara
berkembang tidak cukup berusaha. Pada umumnya, program negara berkembang yang
terlibat cukup baik di atas kertas, tetapi pelaksanaannya buruk. Seperti,
mempersulit mengikutsertakan bank-bank dalam restrukturisasi program penyediaan
sumber-sumber daya yang diperlukan oleh negara berkembang. Kesulitan ini membuat
banyak orang memikirkan cara-cara baru untuk mengatasi masalah utang.
Program
pengurangan utang harus mencakup pertukaran debt-equity, pertukaran utang
swasta-utang, pertukaran utang pemerintah-utang, pertukaran utang-ekspor,
pertukaran utang-tujuan lingkungan dan pembelian kembali utang. Program
pengurangan utang tersebut tidak akan dengan sendirinya mengisi kesenjangan
sumber daya di negara berkembang, namun kalau didukung dapat banyak menolong.
Bank-bank akan mau menukarkan utang-utang disertai potongan, dengan aset yang
lebih baik.
Di beberapa
negara, banyak utang yang tidak berasal dari bank, melainkan dari negara-negara
kreditur. Karena bank-bank komersial membatasi diri pada pendanaan perdagangan
saja dan menghindari neraca pembayaran serta pendanaan proyek. Usul pemerintah
negara-negara ini untuk memberi keringanan utang merupakan solusi yang
realistis dan harus segera dilakukan.
Masalah utang
yang dihadapi negara berkembang membutuhkan kepemimpinan yang kuat untuk
melaksanakan perbaikan penting, dan pemerintah multilateral supaya kelenturan
dan ketetapan meneruskan perubahan dilengkapi dengan imajinasi, dan diperlukan
bank untuk bertahan.
b. Menghadapi
Krisis Utang
Cara alternatif
yang dipakai negara-negara debitur untuk meningkatkan kapasitas pembayaran
utang mereka saling bertentangan pada keadaan-keadaan tertentu. Jika mereka
ingin membayar utang pada waktunya, mereka harus mengalihkan sumber daya langka
dari strategi pertumbuhan yang sedang dijalankan. Bila mereka ingin berkembang,
mereka harus menarik sumber daya dari pembayaran utang. Misalnya, devaluasi
mata uang yang tak terelakkan supaya bantuan untuk ekspor diharapkan
menimbulkan inflasi dan melalui kenaikan bunga utang dalam mata uang nasional,
meningkatkan defisit anggaran. Ini akan menyebabkan penyakit inflasi baru dan
cenderung menggerakkan pembatasan-pembatasan impor.
Peringanan
utang mestinya menguntungkan kreditur karena meningkatkan insentif para debitur
untuk membereskan negeri mereka dengan hasil terbinanya kepercayaan investor
domestik maupun asing. Hasil ini penting kalau mengingat kembali hilangnya
kepercayaan eksternal dan internal terhadap negara debitur. Pelarian modal,
ketidakstabilan politik, dan radikalisasi dalam bentuk apa pun, merupakan
akibat sampingan dari perkembangan seperti itu.
Langkah-langkah
penyesuaian yang perlu dijalankan adalah, antara lain : penarikan subsidi,
pelonggaran distorsi akibat monopoli, keterbukaan dan kepercayaan dalam
manajemen perusahaan milik negara, penghapusan hambatan-hambatan perdagangan di
pasar negara-negara debitur, dan kebijakan nilai tukar yang lebih fleksibel.
Hal ini kembali
menunjukkan bahwa sampai batas tertentu politik menentukan keberhasilan atau
kegagalan pendekatan baru terhadap krisis utang. Peranan pemerintah
negara-negara industri mesti diberi tekanan khusus. Mereka mesti membuktikan
bahwa mereka benar-benar menyadari tanggung jawab mereka. Nyatanya, pemerintah
negara-negara industri ini menyimpan taruhan besar pada keberhasilan resolusi
krisis utang negara berkembang dalam perdagangan, lapangan kerja, pertumbuhan
ekonomi, stabilitas geopolitis, dan sistem keuangan global yang lebih aman.
Hanya mereka yang dapat menghimpun kemauan politik ke arah proses itu. Tentu,
kepemimpinan seperti itu diperlukan bukan untuk substitusi dana negara bagi
kredit swasta dan risiko negara bagi risiko swasta, melainkan untuk memulihkan
hubungan kredit yang sehat dan berkesinambungan di antara negara-negara debitur
dan pasar keuangan internasional. Satu langkah penting yang harus di ambil oleh
pemerintah negara industri adalah penyerasian peraturan pajak dan komersial.
Pembukaan pasar
dengan tujuan mengurangi utang tiap-tiap negara hingga ke tingkat yang
memungkinkan negara-negara itu mencapai kemampuan membayar utang yang ada
secara memadai. Bila tingkat tersebut tercapai, aliran suka rela baru dari
bank-bank komersial dapat digunakan untuk membiayai proyek dan perdagangan,
yakni investasi produktif yang membantu pertumbuhan dalam negeri yang sangat
diperlukan.
Kemajuan tidak
mudah dicapai, tanpa partisipasi luas dari negara-negara kreditur utama, akan
banyak tindakan yang menjadi tumpul. Oleh karena itu, peningkatan kepercayaan
pengurangan utang dapat memberikan bantuan yang berguna, dan yang paling
penting, demi kepentingan semua pihak yang terlibat, mesti menggunakan seluruh
pengaruh dan kemampuan persuasif masing-masing untuk meyakinkan mereka yang
belum percaya.
c.
Mengatasi Masalah Utang
Dana Moneter
Internasional (IMF), bank komersial Amerika Serikat, dan Bank Dunia, menganggap
penyebab krisis utang (yang bermunculan di negara berkembang ) adalah
kekurangan likuiditas jangka pendek pada negara-negara debitur. Pada dasarnya
mengatasi masalah utang dengan melakukan kerja sama gabungan dalam mencari
solusi masalah utang.
1. Jalan
keluar melalui pengurangan beban utang dengan pembagian beban
Kelebihan utama pendekatan ini adalah
tercakupnya konsep sekuritisasi dan instrumen inkorporasi yang dapat mengurangi
stok utang yang belum dilunasi.
2. Melakukan
kerja sama
Salah satu langkah pengurangan utang
yang lebih efektif dan sekaligus menaikkan investasi dalam industri ekspor dan
industri impor yang disubstitusi.
3. Membaiknya
sistem simpanan
d. Solusi
Pasar untuk Krisis Utang
Peristiwa utama sehubungan dengan
utang Negara berkembang adalah terus berlangsungnya penjadwalan ulang negara
berkembang dan munculnya pasar sekunder yang responsive bagi pinjaman. Kalau
dilihat dari skalanya, penjadwalan ualang yang terus menerus dan berkelanjutan mengecilkan
arti transaksi lainnya. Akibatnya, penjadwalan ulang member peluang-langsung
atau tidak langsung-untuk sebagian besar transaksi yang melibatkan pinjaman.
“Pasar” yang sedang kita
bicarakan itu bukanlah kelompok investor yang tidak punya kepentingan, tidak
jelas, pasif, atau sederhana. Pasar yang dimaksud tidak lain adalah bank- bank
yang paling awal meminjamkan uang ke Negara berkembang. Bank adalah lembaga
pertama yang menyadari bahwa pelonggaran persyaratan penjadwalan ulang hanyalah
permulaan proses pengampunan utang yang terus berlangsung secara bertahap.
Pendek kata, apa pun pernyataan umum mengenai penjadwalan ulang, realitas
ekonominya sudah terjadi, yakni sejumlah besar pemberi pinjaman terdahulu telah
memutuskan untuk menjual pinjaman Negara berkembang dengan potongan besar.
Bagi kebanyakan bank, keputusan
untuk menjual asset yang buruk menggambarkan suatu revolusi dalam manajemen
portofolio. Sebelum terjadi krisis utang, bank jarang memperdagangkan asset
mereka lebih sedikit asset mereka yang buruk. Yang memungkinkan berkembangnya
pasar utang yang didiskonto adalah sangat banyak pinjaman yang sejenis. Yang
menyebabkan pasar tersebut cepat berkembang adalah ketidaksabaran banyak
bank untuk menyelesaikan masalah utang.
a) Pasar
Bagi Pemberi Pinjaman Baru yang Benar-benar Suka Rela
Kebijaksanaan yang lazim beranggapan
bahwa Negara berkembang memerlukan suntikan modal yang sangat besar untuk
meningkatkan pertumbuhan dan, dengan demikian, berhasil menyelesaikan masalah
utang. Akibatnya, bermunculan spekulasi mengenai kapan Negara berkembang siap
mendapatkan dana segar di pasar kredit internasional atas dasar yang
benar-benar suka rela. Dengan kata lain, keuntungan apa yang diinginkan oleh
bank, perusahaan asuransi, dana pensiun, dan rakyat biasa dengan
menginvestasikan atau memberikan pinjaman baru bagi Negara berkembang?
Sehubung dengan utang Negara
berkembang, ada dua kubu investor: bank yang meminjamkan miliaran kepada Negara
berkembang, dan perusahaan asuransi, dana pensiun serta beberapa bank yang
tidak terlibat dalam pemberian pinjaman, krisis utang, dan penjadwalan ulang.
Disamping itu, para pemegang saham
bank jarang yang memahami mengapa orang mau meminjam dana baru dengan nilai
parinya kalau tidak lama kemudian pinjaman yang sama dapat dibeli dengan
setengah harga dipasar sekunder. Bahwa, pemegang saham sama sekali membiarkan
naiknya dana baru suka rela, itu sungguh mengherankan.
Analisis yang lebih gamblangbagi
lembaga yang bukan kreditur Negara berkembang. Lembaga seperti itu
memperhatikan proses penjadwalan ulang tanpa henti yang serba sulit dan tidak
nyata. Bahkan yang lebih penting berdasarkan perspektif investor, mereka
memperhatikan harga pinjaman Negara berkembang sangat jatuh sejak krisis utang.
Pendirian para banker besar, yakni
harga utang Negara berkembang yang sedang berlaku tidak mencerminkan nilai
pinjaman – harga terlalu rendah – tidak benar. Bahkan harga yang sedang berlaku
terlalu tinggi menilai utang. Investasi baru yang penting pada utang Negara
berkembang dan pemberian pinjaman baru yang penting kepada Negara berkembang
dan pemberian pinjaman baru yang lebih besar. Untuk mencapai keuntungan
tersebut, harga mesti terus turun cukup banyak, sampai keuntungannya setara
dengan resikonya.
Masalah persediaan mempunyai dua
sisi: sisi kreditur dan sisi Negara. Dengan sangat besarnya jumlah pinjaman
yang belum dilunasi, tidak diragukan lagi, meskipun harga sekunder terus turun,
bank akan tetap menjual pinjaman yang diberikan kepada Negara berkembang.
Sesungguhnya, jika tidak berpatokan pada sejarah, makin jauh harga turun makin
banyak kreditur yang akan menyerahkan dan menjual tunai.
Pertimbangan yang lebih pelik pada
pihak debitur dikeluarkannya utang baru. Seumpama untuk sementara waktu kita
mencapai tingkat keuntungan daridari pembelian pasar sekunder sehingga bisa
mendapatkan pembeli utang Negara berkembang sesuai dengan skalanya, masih belum
jelas apakah Negara berkembang akan mengeluarkan utang baru tingkat keuntungan
pasar tersebut. Mungkin inilah hambatan paling besar bagi inisiatif berdasarkan
pasar. Lagi pula, suntiakn dana dari lembaga multilateral dengan tingkat
subsidi sangat besar agak mengecilkan hati Negara berkembang untuk menghadapi
kerasnya realitas pasar.
Perkembang paling penting akan
membantu menarik minat terhadap utang Negara berkembang: investasi warga Negara
berkembang. Tidak ada yang akan meyakinkan kalangan investasi bahwa kredit
Negara berkembang tertentu menggambarkan nilai yang menguntungkan sebanyak
aktivitas pembelian warga Negara suatu Negara dan lembaga domestic. Terlepas
dari kejadian ketika utang diperoleh untuk digunakan dalam konversi utang –
ekuitas – yang sebenarnya menunjang penjualan mata uang setempat – pembelian
utang oleh warga Negara untuk keuntungan besar jarang terjadi.
Setiap pembicaraan tentang utang
Negara berkembang, krisis utang, dan beban utang akhirnya akan sampai pada
masalah penjaminan. Demikianlah dongeng sekitar kata ini sehingga yang
memakainya percaya bahwa menyebut kata itu saja dapat membantu menyelesaikan
masalah utang. Ini serupa dengan pencarian mangkok suci: Beredar keyakinan
bahwa bagaimana pun penjaminan dapat menanggulangi utang sedemikian rupa
sehingga orang ingin membelinya. Meskipun demikian, saat ini penjaminan tidak
berarti banyak.
Penjaminan dapat dipakai untuk salah
satu dari dua tujuan: pertama, menciptakan instrument yang menarik bagi
investor baru; dan kedua, menciptakan instrument yang menarik bagi bank.
Penjaminan untuk menarik minat bank berguna sebagai alternative untuk
penjadwalan ulang utang yang dijaminkan.
b) Prospek
Utang Negara berkembang dan
pendanaan Negara-negara berkembang bukanlahmasalah yang menempati kekosongan.
Dengan satu kekecualian penting, utang Negara berkembnag merupan bagian dari
pasar modal yang juga menyediakan pendanaan bagi Departemen Keuangan Amerika
Serikat dan IBM.
Kekecualiannya adalah bank-bank yang
menguasai utang Negara berkembang tidak menjual pinjaman itu dengan nilai
pasar. Akibatnya banyak kreditur bank tidak terdorong untuk mengelola portofolio
utang Negara berkembang dengan cara mencerminkan nilai ekonomis. Malahan,
mereka terdorong untuk mengelola portofolio mereka memakai cara yang
mempertahankan khayalan bahwa pinjaman itu berharga lebih tinggi dari pada
harga jualnya.
Pendekatan itu menimbulkan hambatan
yang sangat besar terhadap resolusi krisis utang dan pemulihan pertumbuhan
ekonomi di Negara-negara berkembang. Karena banyak bank menjaga nilai fiktif
demi kepentingan pembukuan, mereka tidak dapat merundingkan restrukturisasi
utang yang ada yang memungkinkan debiatur untuk melunasinya. Selain itu bank
yang mempertahankan nilai fiktif tersbut tidak akan menjual pinjaman dengan
harga yang menarik bagi pemodal bukan bank. Sebelum hambatan ini disingkirkan,
tidak aka nada resolusi krisis utang.
e.
Pengurangan Pembayaran Utang
Sebagai Jalan keluar :
1. Pembelian
kembali
2. Jaminan
Pertukaran Aset
3. Jaminan-jaminan
Bunga
f.
Skema Paripurna untuk Menanggulangi Krisis Utang
a) Definisi Pendekatan
Komprehensif
Dalam perdebatan mengenai masalah
utang Negara berkembang di tahun 80-an, resolusi yang “buruk” sederhana global,
atau komprehensif sering dibedakan dengan resolusi yang “baik” kasus demi
kasus, atau pasar. Sebenarnya, perbedaan antara solusi komprehensif dan solusi
pasar bersifat semu.
Ciri pertama solusi komprehensif
adalah mencoba memperlakukan utang Negara berkembang sebagai masalah
bersama sejumlah Negara, bukan masalah tiap-tiap Negara secara terpisah.
Pendekatan komprehensif dapat dikenali dari bentuk yang paling sederhana
sebagai upaya untuk menerapkan solusi tunggal dan global pada masalah-masalah
sekelompok besar Negara berkembang. Namun, setiap pendekatan komprehensif yang
agak rumit akan memberikan solusi umum bagi sekelompok Negara yang kondisi dan
prospeknya serupa, dengan adaptasi kasus pada keadaan dan prospek tiapa-tiap
Negara. Dalam hal itu, tidak ada perbedaan dengan solusi pasar.
Ciri kedua solusi komprehensif
adalah melibatkan semua pihak yang relevan – pemerintah Negara-negara industry,
bank-bank, dan Negara-negara debiatur. Solusi pasar yang murni akan membebankan
penanggulangan masalah utang Negara berkembang kepada dua pihak yang langsung
terlibat: bank-bank yang meminjamkan uang dan Negara-negarayang berutang.
Strategi komprehensif secara eksplisit mengakui bahwa bukan hanya bank-bank dan
Negara-negara berkembang yang berperan dalam utang Negara berkembang.
Pemerintah Negara-negara maju juga ikut menentukan akibatnya secara ekonomis
dan politis. Pendekatan komprehensif menyertakan pihak yang terakhir itu
sebagai bagian dari solusi.
Ciri-ciri terakhir dari solusi
komprehensif adalah cara ini langsung mengkaitkan perubahan kebijakan
dinegara debiataur dengan perubahan struktur utangnya. Sesungguhnya kelemahan
pokok solusi pasar yang murni adalah ketidakmampuan bank maupun Negara-negara
debitur untuk memakai pengaruh secara tepat kepada pihak lain. Bank tidak dapat
memaksa Negara-negara berdaulat menjalankan perubahan kebijakan agar dikemudian
hari mampu melunasi utang. Negara-negara debitur yang mengalami kesulitan utang
tidak dapat memaksa bank memberikan pinjaman baru atau keringanan utang.
Kepentingan mereka bersama dalam memelihara hubungan baik kreditur-debitur
dapat menghasilkan persetujuan yang mengaitkan perubahan kebijakan yang
diperlukan dengan restrukturisasi dan penambahan dana. Tetapi, pihak ketiga
yang berpengaruh terhadap bank maupun debitur dibutuhkan untuk menjamin
dilakukannya perubahan kebijakan yang perlu oleh Negara berkembang dan bank
diimbau untuk memberikan keringanan utang atau kredit baru.
Maka, pendekatan komprehensif
sebenarnya merupakan rintisan penting untuk solusi pasar yang sehat. Tanpa
keterlibatan pemerintah, kaitan antara perubahan kebijakan dengan reorganisasi
atau penambahan dana tidak dapat terjalin dengan meyakinkan. Tanpa kaitan
tersebut, bank maupun Negara berkembang tidak dapat mencapai persetujuan
mengenai restrukturisasi pinjaman yang macet. Solusi pasar bisa berlangsung
dengan kerangka komprehensif yang menentukan pendirian Negara-negara industry
terhadap bank dan Negara debitur, cara bank serta debitur menyeimbangkan
pengeluaran dan keuntungan.
b) Pendekatan
Komprehensif Dengan Dana Pemerintah
Sejak awal krisis utang sudah banyak
usul yang diajukan untuk pendekatan komprehensif yang disertai lebih besarnya
peran pemerintah. Para pendukung pendekatan komprehensif berpendapat, masalah
utang bukan sekedar likuiditas – itu adalah masalah kesanggupan membayar. Utang
dan pelunasan utang Negara berkembang sudah terlalu besar dibandingkan dengan kesanggupan
Negara berkembang untuk membayar. Bank dan Negara berkembang saja tidak akan
mampu mengatasi ketimpangan tersebut tanpa akibat yang sangat merugikan mereka
maupun Negara-negara industry. Untuk menghindari akibat buruk, pemerintah
Negara-negara industry harus menyediakan sumber daya keuangan untuk menutupi
kebutuhan Negara berkembang akan pelunasan utang yang lebih ringan utang atau
pinjaman yang lebih besar dan ketidakmampuan bank untuk memberikan itu tanpa
membebani system keuangan.
Para pendukung pendekatan baru ini
menyebutkan empat alasan umum perlunya strategi-strategi baru. Pertama, utang
Negara berkembang sudah melebihi kemampuan untuk melunasinya. Kedua, Negara
berkembang sangat kekurangan sumber daya untuk melunasi utang. Ketiga, pertumbuhan
ekonomi dan investasi Negara berkembangterus terhambat beban pelunasan utang,
menyebabkan kemunduran ekonomi, social, dan politik. Keempat, Negara-negara
industry tidak bisa menahan semakin rapuhnya system keuangan mereka, dan
bersama perindustrian swasta mereka juga mengalami kemerosotan perdagangan
dengan Negara-negara berkembang.
c) Usul-usul Reorganisasi
dan Keringanan Utang
Pendekatan-pendekatan komprehensif
yang menonjolkan reorganisasi dan keringanan didasari asumsi bahwa beban utang
Negara berkembang terlalu besar dibandingkan dengan kemampuan mereka untuk
membayar. Oleh karena itu, utang harus direduksi atau pembayaran bunganya
diturunkan, atau dua-duanya sekaligus.
Mekanisme khusus untuk
pelaksanaannya berlainan di tiap-tiap rencana, dan rencana-rencana tersebut
sangat beragam. Uraian tentang rencana-rencana yang paling menonjol dan
terangkum pada lampiran. Tetapi, hampir semua keringanan utang melibatkan peran
pendanaan pemerintah Negara-negara maju, melalui jaminan, tanggungan modal, atau
dana untuk pembelian utang. Sokongan keuangan seperti itu dimaksudkan untuk
mendapatkan keringanan pendanaan tambahan bank-bankwalaupun ada kerugian actual
dan untuk menghindari kerugian yang sangat besar yang menyebabkan kerugian bank
berlipat dan krisis keuangan.
d) Pembelian Utang dengan
Diskonto oleh Fasilitas Internasional
Salah satu pendekatan melibatkan
transfer pinjaman Negara berkembang yang dilakukan oleh bank-bank kepada suatu
lembaga public baru yang harganya dibawah nilai yang sebenarnya, dengan bank
yang menyerap diskonto itu sebagai kerugian. Bank-bank akan menerima asset yang
lebih baik dari fasilitas internasional, dan didukung oleh kelayakan kredit
Negara-negara industry. Lembaga baru ini akan menerima obligasi yang diserahkan
oleh Negara debitur dan pembayaran obligasi tersebut.
e) Hutang Luar Negeri
Pemicu Krisis Ekonomi Indonesia
Perpindahan dari Orde Lama ke Orde
Baru, sekaligus terjadi perubahan kebijakan. Kebijakan Orde Baru menonjolkan
kebijakan pembangunan dimana dengan keterbatasan persediaan anggaran,
pemerintah melakukan kebijakan meminjam dana ke luar negeri yang disebut hutang
luar negeri. Sistem ekonomi pada masa Orde Baru sebenarnya dilakukan bukan
berdasarkan sistem mekanisme pasar yang sehat dan betul-betul terbuka. Unsur
perencanaan negara yang terpusat cukup menonjol sehingga pilihan-pilihan
industri tidak berjalan berdasarkan signal-signal pasar, yang obyektif –
rasional. Perencanaan ekonomi tersentralisasi yang berkombinasi dengan
jeratan kelompok kepentingan di lingkaran pusat kekuasaan dan elite
pemerintahan telah menjadi pola (patern) utama dari desain kebijakan
ekonomi.
Kebijakan hutang luar negeri, yang
dimaksudkan untuk mendorong pertumbuhan ekonomi, dengan ratusan bahkan ribuan
proyek yang terlibat di dalamnya pasti tidak bisa terhindarkan sebagai sasaran
rente ekonomi. Jadi, pembuat disain kebijakan ekonomi bagaikan menciptakan
mobil dengan “pedal gas” yang dapat dipacu dengan cepat. Perumpamaan itu dapat
terlihat dari rekayasa pertumbuhan ekonomi yang cepat berbasis hutang luar
negeri dan dilanjutkan dengan ekploitasi sumber daya alam secara berlebihan
untuk mengejar “setoran” hutang.
Namun demikian, teknokrat para
pembuat rancangan kebijakan ekonomi tadi lupa membuat “rem” pengendali yang
baik. Akhirnya ekonomi Indonesia betul-betul terperangkap hutang yang
menggiring ke jurang krisis moneter dan kemudian menular ke dalam seluruh
sistem ekonomi, yang sebenarnya rentan. Krisis multi dimensi lanjutannya telah
menyebabkan ongkos sosial-politik yang tinggi. Bahkan biaya kemanusiaan yang
terjadi juga sangat luar biasa mahal dan terpaksa harus dibayar oleh bangsa
ini, yang tidak mungkin tertutupi oleh nilai tambah dari pertumbuhan ekonomi
yang tercipta selama ini.
Ekonomi pasar yang semu dilaksanakan
dengan warna yang kuat dan sangat menonjol dalam proses pertumbuhan ekonomi
masa itu. Oleh karena itu, tidak terhindarkan intervensi pemerintah dalam
berbagai bidang ekonomi. Hal ini utamanya terlihat dalam rancangan serta
implementasi APBN yang syarat dengan ketergantungan terhadap hutang luar negeri
tersebut
Faktor hutang luar negeri dalam
rancangan pembangunan ekonomi tersebut telah menyebabkan dampak negatif tidak
hanya dari sisi teknis kemampuan membayar kembali, negatif outflow dan debt
service ratio yang melampaui batas wajar. Dampak desain kebijakan
hutang luar negeri tersebut telah menyodok aspek-aspek non ekonomi, terutama
kerusakan birokrasi,iklim usaha, perburuan rente, inefisiensi, dan sebagainya.
Kerusakan aspek non ekonomi ini, baik kelembagaan maupun perilaku aktor-aktor
ekonomi, jauh lebih besar biaya sosialnya daripada aspek ekonomi itu sendiri.
Batas merah dari DSR sebesar 20
persen sudah dilanggar sejak lama sehingga beban pembayaran hutang luar negeri
ini telah menjadi penyakit laten bagi ekonomi nasional. Bahkan persoalan hutang
luar negeri itu sendiri telah menjadi isu politik yang dirasakan sebagai api
dalam sekam. Kritik sama sekali tidak dihargai bahkan cenderung melemah karena
DPR mandul. Kerapuhan kebijakan hutang luar negeri ini ditutupi dengan jargon
politik “Hutang hanya sebagai komplementer”. Sementara itu para teknokrat dan
ekonomi afilatifnya sibuk menjustifikasi bahwa hutang luar negeri masih dapat
dianggap sebagai persoalan publik yang dapat dikelola (manageable).
Distorsi-distorsi ekonomi terjadi
karena diawali dengan semangat etatisme yang kuat dan diikuti berbagai gangguan
kelompok kepentingan yang besar. Hal itu berlangsung selama periode pembangunan
ekonomi serba negara sampai akhir tahun 1970-an dan berlanjut pada awal
1980-an. Namun sistem ekonomi yang bersifat etatisme ini tidak dapat bertahan
lama karena sumber daya pembangunan yang melimpah khususnya sumber daya alam
minyak dan non minyak serta hutang luar negeri semakin terbatas, bahkan dari
waktu ke waktu semakin berkurang.
Pemborosan demi pemborosan satu per
satu terlihat semakin gamblang, terutama ketika terjadi korupsi pertamina pada
masa kepemimpinan Ibnu Sutowo. Namun kasusnya ditutup-tutupi karena menyangkut
kepentingan penguasa, yang telah memanfaatkan BUMN menjadi “sapi perah”. Sejak
itu tidak ada lagi kasus-kasus korupsi yang betul-betul ditangani dengan baik.
Kerusakan institusi dan perilaku aktor negara ini telah menjadi benih yang kuat
untukk menular ke dalam institusi swasta yang menempel langsung disamping negara.
Sistem yang tercipta akhirnya tidak terhindarkan menjadi normal dan bersifat
anomali sehingga rentan krisis.
Disinilah kemudian terjadi kegagalan
pemerintah (state failure) dalam memainkan perannya di dalam sistem
ekonomi politik yang sehat. Kelemahan dalam membangun sistem ekonomi politik
menular ke lembaga swasta sehingga dunia usahapun dipenuhi distorsi, perburuan
rente dan inefisiensi. Kegagalan kebijakan deregulasi sektor keuangan, yang
bertujuan memacu arus masuk modal asing ke Indonesia, dapat ditelusuri melalui
logika dan nalar berfikir seperti ini.
Pada awal tahun 1980-an kemudian
terlihat gejala-gejala perlambatan pertumbuhan ekonomi karena masa bonansa
ekspor minyak mulai menyurut. Injeksi modal yang dilakukan tidak produktif
sehingga harus terus ditopang oleh hutang luar negeri. Karena pemborosan yang
terjadi, maka nilai tambah yang tercipta tidak mengarah pada produktifitas
modal yang diinjeksikan. Ekonomi Indonesia terus haus terhadap tambahan modal
dan hutang luar negeri.
Bahkan pada pertengahan tahun
1980-an itu pertumbuhan hutang luar negeri terus berlangsung dan justeru
semakin besar. Ini menunjukkan bahwa Indonesia sudah semakin terjerat dalam
perangkap hutang luar negeri (debt trap). Gejala ini berlangsung sejalan
dengan semakin besarnya pelarian modal negatif ke luar negeri karena pembayaran
cicilan pokok dan bunga hutang sudah lebih besar dari jumlah hutang baru yang
diterima.
Transaksi hutang luar negeri
pemerintah telah menjadi bencana bagi perekonomian nasional ketika terbukti
dari akumulasi yang besar dari pembayaran cicilan pokok dan bunganya. Aliran
modal keluar melalui transaksi hutang ini telah menyebabkan kehilangan
kesempatan investasi (oppurtunity lost) sehingga daya dorong fiskal
secara langsung dari tahun ke tahun mengalami penurunan. Kebanyakan penerimaan
pemerintah dari pajak masuk ke dalam pengeluaran rutin, yang kebanyakan dipakai
untuk membayar hutang luar negeri. Kebijakan hutang luar negeri Indonesia
akhirnya memang menjadi catatan sejarah ekonomi yang buruk dan sekaligus dapat
dicatat sebagai suatu kecelakaan sejarah. Sampai pada kejadian ini, pemerintah
tetap merasa santai seolah-olah tidak terjadi apapun dan tidak ada upaya yang
signifikan untuk mengurangi hutang luar negeri. Tidak ada perubahan kebijakan
yang mengantisipasi dengan cepat permasalahan hutang luar negeri ini sehingga
terus menumpuk tanpa penyelesaian. Rutinitas perencanaan fiskal terus
dijalankan tanpa makna yang berarti untuk mengurangi ketergantungan terhadap
hutang luar negeri tersebut. Namun, akhirnya muncul kesadaran ketika semuanya
sudah terlambat, penyakit sudah terlanjur menjadi akut dan kronis, sehingga
sulit rasanya untuk bisa keluar dari cengkeraman hutang luar negeri.
III.
PENUTUP
Kesimpulan
Yang menjadi masalah disini bukanlah
ada tidaknya pendekatan komprehensif terhadap masalah-masalah utang Negara
berkembang. Masalahnya adalah peran apa yang akan dimainkan oleh pemerintah
Negara-negara maju dan bagaimana cara mereka memudahkan restrukturisasi yang
dibutuhkan bagi penanggulangan beban utang Negara berkembang.
Pendekatan yang digunakan saat ini,
yakni memberikan kredit baru tanpa pembiayaan langsung dari Negara-negara
industry, sudah tidak sesuai lagi. Krisis utang Negara berkembang tidak dapat
lagi diperlakuan sebagai masalah perbankan saja. Masalah ini juga merupakan
masalah pertumbuhan ekonomi, masalah perdagangan, dan masalah geopolitik. Suatu
pendekatan baru yang memberikan keringanan utang dan dukungan pembiayaan
seluruh Negara industry tidak dapat dihindari, bila dunia tidak ingin mengalami
suatu krisis keuangan atau erosi stabilitas ekonomi dan politik Negara
berkembang yang berkelanjutan.
Krisis ekonomi
adalah masalah kita berasama,untuk kita harus bersama-sama untuk menanggulangi
masalah ekonomi ini . baik moril maupun secara materil agar masalah krisis
ekonoi tidak berkelanjutan dan semakin membuat terpuruknya bangsa ini.
DAFTAR PUSTAKA
Sumber Penulisan :
·
A.Bogdanowicz Christine-Bindert, 1989 Pemecahan Krisis Ekonomi, Penerbit IBEK
Press, Tomang Jakarta Barat.
I.
PENDAHULUAN
I.I Kata Pengantar
Puji syukur
penulis panjatkan kehadirat Allah SWT, yang atas rahmat-Nya maka
penulis dapat menyelesaikan penyusunan Karya Tulisan yang bertema
Strategi Pemecahan Krisis Utang di Negara Berkembang Indonesia Secara Global
Penulisan karya tulis
adalah merupakan salah satu tugas dan persyaratan untuk menyelesaikan tugas
mata kuliah
Softskill .
Dalam Penulisan
Karya Tulis
ini penulis merasa masih banyak kekurangan-kekurangan baik pada teknis
penulisan maupun materi, mengingat akan kemampuan yang dimiliki penulis. Untuk
itu kritik dan saran dari semua pihak sangat penulis harapkan demi
penyempurnaan pembuatan makalah ini.
Dalam penulisan
karya tulis
ini penulis menyampaikan ucapan terima kasih yang tak terhingga kepada
pihak-pihak yang membantu dalam menyelesaikan tugas ini.
Akhirnya
penulis berharap semoga Allah memberikan imbalan yang setimpal pada mereka yang
telah memberikan bantuan, dan dapat menjadikan semua bantuan ini sebagai
ibadah, Amiin Yaa Robbal ‘Alamiin.
I.II Latar Belakang
Krisis utang
yang terjadi di negara berkembang kini meningkat , bukan hanya di negara
berkembang saja di berbagai negara industri pun sedang mengalami juga. Salah
satu beban ekonomi Indonesia adalah utang luar negeri yang terus membengkak,
Utang ini sudah begitu berat mengingat pembayaran cicilan dan bunganya yang
begitu besar. Biaya ini sudah melewati kapasitas yang wajar sehingga biaya
untuk kepentingan-kepentingan yang begitu mendasar dan mendesak menjadi sangat
minim yang berimplikasi sangat luas. Sebagai negara berkembang yang sedang
membangun, yang memiliki ciri-ciri dan persoalan ekonomi, politik, sosial dan
budaya yang hampir sama dengan negara berkembang lainnya,Indonesia sendiri
tidak terlepas dari masalah utang luar negeri, dalam kurun waktu 25 tahun
terakhir,utang luar negeri telah memberikan sumbangan yang cukup besar bagi
pembangunan di Indonesia. Bahkan utang luar negeri telah menjadi sumber utama
untuk menutupi defisit Anggaran Pendapatan Belanja Negara (APBN) dan memberikan
kontribusi yang berarti bagi pertumbuhan Produk Domestik Bruto (PDB) yang pada
akhirnya dapat meningkatkan pertumbuhan ekonomi.Meskipun utang luar negeri (foreign
debt) sangat membantu mentupi kekurangan biaya pembangunan dalam Anggaran
Pendapatan Belanja Negara (APBN) namun persoalan pembayaran cicilan dan bunga
menjadi beban yang terus-menerus harus dilaksanakan,apalagi nilai kurs rupiah
terhadap dollar cenderung tidak stabil setiap hari bahkan setiap tahunnya.
Utang luar
negeri Indonesia pada 2012 mencapai Rp 1.937 triliun atau naik sekitar Rp 600
triliun dalam waktu kurang dari 5 tahun. Saat ini, utang sudah bertambah
menjadi Rp 134 triliun. Jika dibandingkan dengan total utang sejak 1945 hingga
2007, yang berjumlah Rp 1.300 triliun atau Rp 1,3 kuadriliun, maka utang yang
dibuat SBY dalam 5 tahun terakhir setara dengan 50 persen utang Indonesia
selama 67 tahun. Juru bicara LSM Bendera, Mustar Bona Ventura, mengatakan,
bunga yang dibayarkan tahun ini mencapai 90 persen dari utang. Jika Indonesia
berani menghentikan utang baru dan mulai membayar cicilan, yaitu sebesar Rp 50
triliun per tahun atau Rp 1,1 triliun per minggu, maka utang pokok akan lunas
sekitar 40 tahun. Jika yang dilunasi berikut dengan bunga berbunganya, maka
kemungkinan utang baru lunas 100 tahun dari hari ini, yaitu tahun 2112.
Menghentikan utang dengan penghematan anggaran tidak mungkin terjadi, Jika
dilihat dari pola hidup mewah pejabat, biaya rapat kabinet sebesar Rp 30 miliar
per tahun, serta pejabat maupun kader Partai Demokrat yang terlibat korupsi,
maka sulit SBY mampu melakukan penghematan besar-besaran di semua sektor.
Jika dibiarkan
utang meningkat secara terus-menerus akan berdampak , yang disebut Bom Utang
, reduksi impor di negara berkembang berarti berkurangnya ekspor, dan
selanjutnya lapangan kerja. Dengan adanya krisis ekonomi tersebut kinerja
perbankan Indonesia terus menunjukkan perkembangan yang memburuk. Hal ini
ditandai dengan hilangnya kepercayaan masyarakat dengan terjadinya penarikan
besar-besaran (Rush) yang berdampak para investor asing maupun lokal tidak mau
berinvestasi. Namun , bukan hanya itu masalah politik kericuhan sosial dan
politik di negara yang terbelit utang tidak stabil. Masalah utang menimbulkan
dampak yang lebih luas secara internasional.
Pertumbuhan ekonomi yang tidak stabil dan pola perkembangan yang tidak sehat
harus segara dipulihkan. Untuk mencapai hal itu, beban utang harus dikurangi.
Pertumbuhan ekonomi (growth) merupakan salah satu indikator perekonomian
yang dipengaruh oleh berbagai macam variabel, salah satunya adalah Produk
Domestik Bruto (PDB). Hutang luar negeri (foreign debt) adalah variabel
yang bisa saja mendorong perekonomian sekaligus menghambat pertumbuhan ekonomi.
Mendorong perekonomian maksudnya,jika hutang-hutang tersebut digunakan untuk
membuka lapangan kerja dan investasi dibidang pembangunan yang pada akhirnya
dapat mendorong suatu perekonomian,sedangkan menghambat pertumbuhan apabila
utang-utang tersebut tidak dipergunakan secara maksimal karena masih kurangnya
fungsi pengawasan dan integritas atas penanggung jawab utang-utang itu sendiri.
II.
ISI
a. Masalah
Utang Negara Berkembang
Masalah utang
negara berkembang akan bersifat jangka pendek, disebut masalah likuiditas.
Penyelesaiannya berupa penyesuaian struktural, penyesuaian-penyesuaian ini
tidak mudah dilakukan dan memerlukan waktu, tetapi bank-bank menganggap negara
berkembang tidak cukup berusaha. Pada umumnya, program negara berkembang yang
terlibat cukup baik di atas kertas, tetapi pelaksanaannya buruk. Seperti,
mempersulit mengikutsertakan bank-bank dalam restrukturisasi program penyediaan
sumber-sumber daya yang diperlukan oleh negara berkembang. Kesulitan ini membuat
banyak orang memikirkan cara-cara baru untuk mengatasi masalah utang.
Program
pengurangan utang harus mencakup pertukaran debt-equity, pertukaran utang
swasta-utang, pertukaran utang pemerintah-utang, pertukaran utang-ekspor,
pertukaran utang-tujuan lingkungan dan pembelian kembali utang. Program
pengurangan utang tersebut tidak akan dengan sendirinya mengisi kesenjangan
sumber daya di negara berkembang, namun kalau didukung dapat banyak menolong.
Bank-bank akan mau menukarkan utang-utang disertai potongan, dengan aset yang
lebih baik.
Di beberapa
negara, banyak utang yang tidak berasal dari bank, melainkan dari negara-negara
kreditur. Karena bank-bank komersial membatasi diri pada pendanaan perdagangan
saja dan menghindari neraca pembayaran serta pendanaan proyek. Usul pemerintah
negara-negara ini untuk memberi keringanan utang merupakan solusi yang
realistis dan harus segera dilakukan.
Masalah utang
yang dihadapi negara berkembang membutuhkan kepemimpinan yang kuat untuk
melaksanakan perbaikan penting, dan pemerintah multilateral supaya kelenturan
dan ketetapan meneruskan perubahan dilengkapi dengan imajinasi, dan diperlukan
bank untuk bertahan.
b. Menghadapi
Krisis Utang
Cara alternatif
yang dipakai negara-negara debitur untuk meningkatkan kapasitas pembayaran
utang mereka saling bertentangan pada keadaan-keadaan tertentu. Jika mereka
ingin membayar utang pada waktunya, mereka harus mengalihkan sumber daya langka
dari strategi pertumbuhan yang sedang dijalankan. Bila mereka ingin berkembang,
mereka harus menarik sumber daya dari pembayaran utang. Misalnya, devaluasi
mata uang yang tak terelakkan supaya bantuan untuk ekspor diharapkan
menimbulkan inflasi dan melalui kenaikan bunga utang dalam mata uang nasional,
meningkatkan defisit anggaran. Ini akan menyebabkan penyakit inflasi baru dan
cenderung menggerakkan pembatasan-pembatasan impor.
Peringanan
utang mestinya menguntungkan kreditur karena meningkatkan insentif para debitur
untuk membereskan negeri mereka dengan hasil terbinanya kepercayaan investor
domestik maupun asing. Hasil ini penting kalau mengingat kembali hilangnya
kepercayaan eksternal dan internal terhadap negara debitur. Pelarian modal,
ketidakstabilan politik, dan radikalisasi dalam bentuk apa pun, merupakan
akibat sampingan dari perkembangan seperti itu.
Langkah-langkah
penyesuaian yang perlu dijalankan adalah, antara lain : penarikan subsidi,
pelonggaran distorsi akibat monopoli, keterbukaan dan kepercayaan dalam
manajemen perusahaan milik negara, penghapusan hambatan-hambatan perdagangan di
pasar negara-negara debitur, dan kebijakan nilai tukar yang lebih fleksibel.
Hal ini kembali
menunjukkan bahwa sampai batas tertentu politik menentukan keberhasilan atau
kegagalan pendekatan baru terhadap krisis utang. Peranan pemerintah
negara-negara industri mesti diberi tekanan khusus. Mereka mesti membuktikan
bahwa mereka benar-benar menyadari tanggung jawab mereka. Nyatanya, pemerintah
negara-negara industri ini menyimpan taruhan besar pada keberhasilan resolusi
krisis utang negara berkembang dalam perdagangan, lapangan kerja, pertumbuhan
ekonomi, stabilitas geopolitis, dan sistem keuangan global yang lebih aman.
Hanya mereka yang dapat menghimpun kemauan politik ke arah proses itu. Tentu,
kepemimpinan seperti itu diperlukan bukan untuk substitusi dana negara bagi
kredit swasta dan risiko negara bagi risiko swasta, melainkan untuk memulihkan
hubungan kredit yang sehat dan berkesinambungan di antara negara-negara debitur
dan pasar keuangan internasional. Satu langkah penting yang harus di ambil oleh
pemerintah negara industri adalah penyerasian peraturan pajak dan komersial.
Pembukaan pasar
dengan tujuan mengurangi utang tiap-tiap negara hingga ke tingkat yang
memungkinkan negara-negara itu mencapai kemampuan membayar utang yang ada
secara memadai. Bila tingkat tersebut tercapai, aliran suka rela baru dari
bank-bank komersial dapat digunakan untuk membiayai proyek dan perdagangan,
yakni investasi produktif yang membantu pertumbuhan dalam negeri yang sangat
diperlukan.
Kemajuan tidak
mudah dicapai, tanpa partisipasi luas dari negara-negara kreditur utama, akan
banyak tindakan yang menjadi tumpul. Oleh karena itu, peningkatan kepercayaan
pengurangan utang dapat memberikan bantuan yang berguna, dan yang paling
penting, demi kepentingan semua pihak yang terlibat, mesti menggunakan seluruh
pengaruh dan kemampuan persuasif masing-masing untuk meyakinkan mereka yang
belum percaya.
c.
Mengatasi Masalah Utang
Dana Moneter
Internasional (IMF), bank komersial Amerika Serikat, dan Bank Dunia, menganggap
penyebab krisis utang (yang bermunculan di negara berkembang ) adalah
kekurangan likuiditas jangka pendek pada negara-negara debitur. Pada dasarnya
mengatasi masalah utang dengan melakukan kerja sama gabungan dalam mencari
solusi masalah utang.
1. Jalan
keluar melalui pengurangan beban utang dengan pembagian beban
Kelebihan utama pendekatan ini adalah
tercakupnya konsep sekuritisasi dan instrumen inkorporasi yang dapat mengurangi
stok utang yang belum dilunasi.
2. Melakukan
kerja sama
Salah satu langkah pengurangan utang
yang lebih efektif dan sekaligus menaikkan investasi dalam industri ekspor dan
industri impor yang disubstitusi.
3. Membaiknya
sistem simpanan
d. Solusi
Pasar untuk Krisis Utang
Peristiwa utama sehubungan dengan
utang Negara berkembang adalah terus berlangsungnya penjadwalan ulang negara
berkembang dan munculnya pasar sekunder yang responsive bagi pinjaman. Kalau
dilihat dari skalanya, penjadwalan ualang yang terus menerus dan berkelanjutan mengecilkan
arti transaksi lainnya. Akibatnya, penjadwalan ulang member peluang-langsung
atau tidak langsung-untuk sebagian besar transaksi yang melibatkan pinjaman.
“Pasar” yang sedang kita
bicarakan itu bukanlah kelompok investor yang tidak punya kepentingan, tidak
jelas, pasif, atau sederhana. Pasar yang dimaksud tidak lain adalah bank- bank
yang paling awal meminjamkan uang ke Negara berkembang. Bank adalah lembaga
pertama yang menyadari bahwa pelonggaran persyaratan penjadwalan ulang hanyalah
permulaan proses pengampunan utang yang terus berlangsung secara bertahap.
Pendek kata, apa pun pernyataan umum mengenai penjadwalan ulang, realitas
ekonominya sudah terjadi, yakni sejumlah besar pemberi pinjaman terdahulu telah
memutuskan untuk menjual pinjaman Negara berkembang dengan potongan besar.
Bagi kebanyakan bank, keputusan
untuk menjual asset yang buruk menggambarkan suatu revolusi dalam manajemen
portofolio. Sebelum terjadi krisis utang, bank jarang memperdagangkan asset
mereka lebih sedikit asset mereka yang buruk. Yang memungkinkan berkembangnya
pasar utang yang didiskonto adalah sangat banyak pinjaman yang sejenis. Yang
menyebabkan pasar tersebut cepat berkembang adalah ketidaksabaran banyak
bank untuk menyelesaikan masalah utang.
a) Pasar
Bagi Pemberi Pinjaman Baru yang Benar-benar Suka Rela
Kebijaksanaan yang lazim beranggapan
bahwa Negara berkembang memerlukan suntikan modal yang sangat besar untuk
meningkatkan pertumbuhan dan, dengan demikian, berhasil menyelesaikan masalah
utang. Akibatnya, bermunculan spekulasi mengenai kapan Negara berkembang siap
mendapatkan dana segar di pasar kredit internasional atas dasar yang
benar-benar suka rela. Dengan kata lain, keuntungan apa yang diinginkan oleh
bank, perusahaan asuransi, dana pensiun, dan rakyat biasa dengan
menginvestasikan atau memberikan pinjaman baru bagi Negara berkembang?
Sehubung dengan utang Negara
berkembang, ada dua kubu investor: bank yang meminjamkan miliaran kepada Negara
berkembang, dan perusahaan asuransi, dana pensiun serta beberapa bank yang
tidak terlibat dalam pemberian pinjaman, krisis utang, dan penjadwalan ulang.
Disamping itu, para pemegang saham
bank jarang yang memahami mengapa orang mau meminjam dana baru dengan nilai
parinya kalau tidak lama kemudian pinjaman yang sama dapat dibeli dengan
setengah harga dipasar sekunder. Bahwa, pemegang saham sama sekali membiarkan
naiknya dana baru suka rela, itu sungguh mengherankan.
Analisis yang lebih gamblangbagi
lembaga yang bukan kreditur Negara berkembang. Lembaga seperti itu
memperhatikan proses penjadwalan ulang tanpa henti yang serba sulit dan tidak
nyata. Bahkan yang lebih penting berdasarkan perspektif investor, mereka
memperhatikan harga pinjaman Negara berkembang sangat jatuh sejak krisis utang.
Pendirian para banker besar, yakni
harga utang Negara berkembang yang sedang berlaku tidak mencerminkan nilai
pinjaman – harga terlalu rendah – tidak benar. Bahkan harga yang sedang berlaku
terlalu tinggi menilai utang. Investasi baru yang penting pada utang Negara
berkembang dan pemberian pinjaman baru yang penting kepada Negara berkembang
dan pemberian pinjaman baru yang lebih besar. Untuk mencapai keuntungan
tersebut, harga mesti terus turun cukup banyak, sampai keuntungannya setara
dengan resikonya.
Masalah persediaan mempunyai dua
sisi: sisi kreditur dan sisi Negara. Dengan sangat besarnya jumlah pinjaman
yang belum dilunasi, tidak diragukan lagi, meskipun harga sekunder terus turun,
bank akan tetap menjual pinjaman yang diberikan kepada Negara berkembang.
Sesungguhnya, jika tidak berpatokan pada sejarah, makin jauh harga turun makin
banyak kreditur yang akan menyerahkan dan menjual tunai.
Pertimbangan yang lebih pelik pada
pihak debitur dikeluarkannya utang baru. Seumpama untuk sementara waktu kita
mencapai tingkat keuntungan daridari pembelian pasar sekunder sehingga bisa
mendapatkan pembeli utang Negara berkembang sesuai dengan skalanya, masih belum
jelas apakah Negara berkembang akan mengeluarkan utang baru tingkat keuntungan
pasar tersebut. Mungkin inilah hambatan paling besar bagi inisiatif berdasarkan
pasar. Lagi pula, suntiakn dana dari lembaga multilateral dengan tingkat
subsidi sangat besar agak mengecilkan hati Negara berkembang untuk menghadapi
kerasnya realitas pasar.
Perkembang paling penting akan
membantu menarik minat terhadap utang Negara berkembang: investasi warga Negara
berkembang. Tidak ada yang akan meyakinkan kalangan investasi bahwa kredit
Negara berkembang tertentu menggambarkan nilai yang menguntungkan sebanyak
aktivitas pembelian warga Negara suatu Negara dan lembaga domestic. Terlepas
dari kejadian ketika utang diperoleh untuk digunakan dalam konversi utang –
ekuitas – yang sebenarnya menunjang penjualan mata uang setempat – pembelian
utang oleh warga Negara untuk keuntungan besar jarang terjadi.
Setiap pembicaraan tentang utang
Negara berkembang, krisis utang, dan beban utang akhirnya akan sampai pada
masalah penjaminan. Demikianlah dongeng sekitar kata ini sehingga yang
memakainya percaya bahwa menyebut kata itu saja dapat membantu menyelesaikan
masalah utang. Ini serupa dengan pencarian mangkok suci: Beredar keyakinan
bahwa bagaimana pun penjaminan dapat menanggulangi utang sedemikian rupa
sehingga orang ingin membelinya. Meskipun demikian, saat ini penjaminan tidak
berarti banyak.
Penjaminan dapat dipakai untuk salah
satu dari dua tujuan: pertama, menciptakan instrument yang menarik bagi
investor baru; dan kedua, menciptakan instrument yang menarik bagi bank.
Penjaminan untuk menarik minat bank berguna sebagai alternative untuk
penjadwalan ulang utang yang dijaminkan.
b) Prospek
Utang Negara berkembang dan
pendanaan Negara-negara berkembang bukanlahmasalah yang menempati kekosongan.
Dengan satu kekecualian penting, utang Negara berkembnag merupan bagian dari
pasar modal yang juga menyediakan pendanaan bagi Departemen Keuangan Amerika
Serikat dan IBM.
Kekecualiannya adalah bank-bank yang
menguasai utang Negara berkembang tidak menjual pinjaman itu dengan nilai
pasar. Akibatnya banyak kreditur bank tidak terdorong untuk mengelola portofolio
utang Negara berkembang dengan cara mencerminkan nilai ekonomis. Malahan,
mereka terdorong untuk mengelola portofolio mereka memakai cara yang
mempertahankan khayalan bahwa pinjaman itu berharga lebih tinggi dari pada
harga jualnya.
Pendekatan itu menimbulkan hambatan
yang sangat besar terhadap resolusi krisis utang dan pemulihan pertumbuhan
ekonomi di Negara-negara berkembang. Karena banyak bank menjaga nilai fiktif
demi kepentingan pembukuan, mereka tidak dapat merundingkan restrukturisasi
utang yang ada yang memungkinkan debiatur untuk melunasinya. Selain itu bank
yang mempertahankan nilai fiktif tersbut tidak akan menjual pinjaman dengan
harga yang menarik bagi pemodal bukan bank. Sebelum hambatan ini disingkirkan,
tidak aka nada resolusi krisis utang.
e.
Pengurangan Pembayaran Utang
Sebagai Jalan keluar :
1. Pembelian
kembali
2. Jaminan
Pertukaran Aset
3. Jaminan-jaminan
Bunga
f.
Skema Paripurna untuk Menanggulangi Krisis Utang
a) Definisi Pendekatan
Komprehensif
Dalam perdebatan mengenai masalah
utang Negara berkembang di tahun 80-an, resolusi yang “buruk” sederhana global,
atau komprehensif sering dibedakan dengan resolusi yang “baik” kasus demi
kasus, atau pasar. Sebenarnya, perbedaan antara solusi komprehensif dan solusi
pasar bersifat semu.
Ciri pertama solusi komprehensif
adalah mencoba memperlakukan utang Negara berkembang sebagai masalah
bersama sejumlah Negara, bukan masalah tiap-tiap Negara secara terpisah.
Pendekatan komprehensif dapat dikenali dari bentuk yang paling sederhana
sebagai upaya untuk menerapkan solusi tunggal dan global pada masalah-masalah
sekelompok besar Negara berkembang. Namun, setiap pendekatan komprehensif yang
agak rumit akan memberikan solusi umum bagi sekelompok Negara yang kondisi dan
prospeknya serupa, dengan adaptasi kasus pada keadaan dan prospek tiapa-tiap
Negara. Dalam hal itu, tidak ada perbedaan dengan solusi pasar.
Ciri kedua solusi komprehensif
adalah melibatkan semua pihak yang relevan – pemerintah Negara-negara industry,
bank-bank, dan Negara-negara debiatur. Solusi pasar yang murni akan membebankan
penanggulangan masalah utang Negara berkembang kepada dua pihak yang langsung
terlibat: bank-bank yang meminjamkan uang dan Negara-negarayang berutang.
Strategi komprehensif secara eksplisit mengakui bahwa bukan hanya bank-bank dan
Negara-negara berkembang yang berperan dalam utang Negara berkembang.
Pemerintah Negara-negara maju juga ikut menentukan akibatnya secara ekonomis
dan politis. Pendekatan komprehensif menyertakan pihak yang terakhir itu
sebagai bagian dari solusi.
Ciri-ciri terakhir dari solusi
komprehensif adalah cara ini langsung mengkaitkan perubahan kebijakan
dinegara debiataur dengan perubahan struktur utangnya. Sesungguhnya kelemahan
pokok solusi pasar yang murni adalah ketidakmampuan bank maupun Negara-negara
debitur untuk memakai pengaruh secara tepat kepada pihak lain. Bank tidak dapat
memaksa Negara-negara berdaulat menjalankan perubahan kebijakan agar dikemudian
hari mampu melunasi utang. Negara-negara debitur yang mengalami kesulitan utang
tidak dapat memaksa bank memberikan pinjaman baru atau keringanan utang.
Kepentingan mereka bersama dalam memelihara hubungan baik kreditur-debitur
dapat menghasilkan persetujuan yang mengaitkan perubahan kebijakan yang
diperlukan dengan restrukturisasi dan penambahan dana. Tetapi, pihak ketiga
yang berpengaruh terhadap bank maupun debitur dibutuhkan untuk menjamin
dilakukannya perubahan kebijakan yang perlu oleh Negara berkembang dan bank
diimbau untuk memberikan keringanan utang atau kredit baru.
Maka, pendekatan komprehensif
sebenarnya merupakan rintisan penting untuk solusi pasar yang sehat. Tanpa
keterlibatan pemerintah, kaitan antara perubahan kebijakan dengan reorganisasi
atau penambahan dana tidak dapat terjalin dengan meyakinkan. Tanpa kaitan
tersebut, bank maupun Negara berkembang tidak dapat mencapai persetujuan
mengenai restrukturisasi pinjaman yang macet. Solusi pasar bisa berlangsung
dengan kerangka komprehensif yang menentukan pendirian Negara-negara industry
terhadap bank dan Negara debitur, cara bank serta debitur menyeimbangkan
pengeluaran dan keuntungan.
b) Pendekatan
Komprehensif Dengan Dana Pemerintah
Sejak awal krisis utang sudah banyak
usul yang diajukan untuk pendekatan komprehensif yang disertai lebih besarnya
peran pemerintah. Para pendukung pendekatan komprehensif berpendapat, masalah
utang bukan sekedar likuiditas – itu adalah masalah kesanggupan membayar. Utang
dan pelunasan utang Negara berkembang sudah terlalu besar dibandingkan dengan kesanggupan
Negara berkembang untuk membayar. Bank dan Negara berkembang saja tidak akan
mampu mengatasi ketimpangan tersebut tanpa akibat yang sangat merugikan mereka
maupun Negara-negara industry. Untuk menghindari akibat buruk, pemerintah
Negara-negara industry harus menyediakan sumber daya keuangan untuk menutupi
kebutuhan Negara berkembang akan pelunasan utang yang lebih ringan utang atau
pinjaman yang lebih besar dan ketidakmampuan bank untuk memberikan itu tanpa
membebani system keuangan.
Para pendukung pendekatan baru ini
menyebutkan empat alasan umum perlunya strategi-strategi baru. Pertama, utang
Negara berkembang sudah melebihi kemampuan untuk melunasinya. Kedua, Negara
berkembang sangat kekurangan sumber daya untuk melunasi utang. Ketiga, pertumbuhan
ekonomi dan investasi Negara berkembangterus terhambat beban pelunasan utang,
menyebabkan kemunduran ekonomi, social, dan politik. Keempat, Negara-negara
industry tidak bisa menahan semakin rapuhnya system keuangan mereka, dan
bersama perindustrian swasta mereka juga mengalami kemerosotan perdagangan
dengan Negara-negara berkembang.
c) Usul-usul Reorganisasi
dan Keringanan Utang
Pendekatan-pendekatan komprehensif
yang menonjolkan reorganisasi dan keringanan didasari asumsi bahwa beban utang
Negara berkembang terlalu besar dibandingkan dengan kemampuan mereka untuk
membayar. Oleh karena itu, utang harus direduksi atau pembayaran bunganya
diturunkan, atau dua-duanya sekaligus.
Mekanisme khusus untuk
pelaksanaannya berlainan di tiap-tiap rencana, dan rencana-rencana tersebut
sangat beragam. Uraian tentang rencana-rencana yang paling menonjol dan
terangkum pada lampiran. Tetapi, hampir semua keringanan utang melibatkan peran
pendanaan pemerintah Negara-negara maju, melalui jaminan, tanggungan modal, atau
dana untuk pembelian utang. Sokongan keuangan seperti itu dimaksudkan untuk
mendapatkan keringanan pendanaan tambahan bank-bankwalaupun ada kerugian actual
dan untuk menghindari kerugian yang sangat besar yang menyebabkan kerugian bank
berlipat dan krisis keuangan.
d) Pembelian Utang dengan
Diskonto oleh Fasilitas Internasional
Salah satu pendekatan melibatkan
transfer pinjaman Negara berkembang yang dilakukan oleh bank-bank kepada suatu
lembaga public baru yang harganya dibawah nilai yang sebenarnya, dengan bank
yang menyerap diskonto itu sebagai kerugian. Bank-bank akan menerima asset yang
lebih baik dari fasilitas internasional, dan didukung oleh kelayakan kredit
Negara-negara industry. Lembaga baru ini akan menerima obligasi yang diserahkan
oleh Negara debitur dan pembayaran obligasi tersebut.
e) Hutang Luar Negeri
Pemicu Krisis Ekonomi Indonesia
Perpindahan dari Orde Lama ke Orde
Baru, sekaligus terjadi perubahan kebijakan. Kebijakan Orde Baru menonjolkan
kebijakan pembangunan dimana dengan keterbatasan persediaan anggaran,
pemerintah melakukan kebijakan meminjam dana ke luar negeri yang disebut hutang
luar negeri. Sistem ekonomi pada masa Orde Baru sebenarnya dilakukan bukan
berdasarkan sistem mekanisme pasar yang sehat dan betul-betul terbuka. Unsur
perencanaan negara yang terpusat cukup menonjol sehingga pilihan-pilihan
industri tidak berjalan berdasarkan signal-signal pasar, yang obyektif –
rasional. Perencanaan ekonomi tersentralisasi yang berkombinasi dengan
jeratan kelompok kepentingan di lingkaran pusat kekuasaan dan elite
pemerintahan telah menjadi pola (patern) utama dari desain kebijakan
ekonomi.
Kebijakan hutang luar negeri, yang
dimaksudkan untuk mendorong pertumbuhan ekonomi, dengan ratusan bahkan ribuan
proyek yang terlibat di dalamnya pasti tidak bisa terhindarkan sebagai sasaran
rente ekonomi. Jadi, pembuat disain kebijakan ekonomi bagaikan menciptakan
mobil dengan “pedal gas” yang dapat dipacu dengan cepat. Perumpamaan itu dapat
terlihat dari rekayasa pertumbuhan ekonomi yang cepat berbasis hutang luar
negeri dan dilanjutkan dengan ekploitasi sumber daya alam secara berlebihan
untuk mengejar “setoran” hutang.
Namun demikian, teknokrat para
pembuat rancangan kebijakan ekonomi tadi lupa membuat “rem” pengendali yang
baik. Akhirnya ekonomi Indonesia betul-betul terperangkap hutang yang
menggiring ke jurang krisis moneter dan kemudian menular ke dalam seluruh
sistem ekonomi, yang sebenarnya rentan. Krisis multi dimensi lanjutannya telah
menyebabkan ongkos sosial-politik yang tinggi. Bahkan biaya kemanusiaan yang
terjadi juga sangat luar biasa mahal dan terpaksa harus dibayar oleh bangsa
ini, yang tidak mungkin tertutupi oleh nilai tambah dari pertumbuhan ekonomi
yang tercipta selama ini.
Ekonomi pasar yang semu dilaksanakan
dengan warna yang kuat dan sangat menonjol dalam proses pertumbuhan ekonomi
masa itu. Oleh karena itu, tidak terhindarkan intervensi pemerintah dalam
berbagai bidang ekonomi. Hal ini utamanya terlihat dalam rancangan serta
implementasi APBN yang syarat dengan ketergantungan terhadap hutang luar negeri
tersebut
Faktor hutang luar negeri dalam
rancangan pembangunan ekonomi tersebut telah menyebabkan dampak negatif tidak
hanya dari sisi teknis kemampuan membayar kembali, negatif outflow dan debt
service ratio yang melampaui batas wajar. Dampak desain kebijakan
hutang luar negeri tersebut telah menyodok aspek-aspek non ekonomi, terutama
kerusakan birokrasi,iklim usaha, perburuan rente, inefisiensi, dan sebagainya.
Kerusakan aspek non ekonomi ini, baik kelembagaan maupun perilaku aktor-aktor
ekonomi, jauh lebih besar biaya sosialnya daripada aspek ekonomi itu sendiri.
Batas merah dari DSR sebesar 20
persen sudah dilanggar sejak lama sehingga beban pembayaran hutang luar negeri
ini telah menjadi penyakit laten bagi ekonomi nasional. Bahkan persoalan hutang
luar negeri itu sendiri telah menjadi isu politik yang dirasakan sebagai api
dalam sekam. Kritik sama sekali tidak dihargai bahkan cenderung melemah karena
DPR mandul. Kerapuhan kebijakan hutang luar negeri ini ditutupi dengan jargon
politik “Hutang hanya sebagai komplementer”. Sementara itu para teknokrat dan
ekonomi afilatifnya sibuk menjustifikasi bahwa hutang luar negeri masih dapat
dianggap sebagai persoalan publik yang dapat dikelola (manageable).
Distorsi-distorsi ekonomi terjadi
karena diawali dengan semangat etatisme yang kuat dan diikuti berbagai gangguan
kelompok kepentingan yang besar. Hal itu berlangsung selama periode pembangunan
ekonomi serba negara sampai akhir tahun 1970-an dan berlanjut pada awal
1980-an. Namun sistem ekonomi yang bersifat etatisme ini tidak dapat bertahan
lama karena sumber daya pembangunan yang melimpah khususnya sumber daya alam
minyak dan non minyak serta hutang luar negeri semakin terbatas, bahkan dari
waktu ke waktu semakin berkurang.
Pemborosan demi pemborosan satu per
satu terlihat semakin gamblang, terutama ketika terjadi korupsi pertamina pada
masa kepemimpinan Ibnu Sutowo. Namun kasusnya ditutup-tutupi karena menyangkut
kepentingan penguasa, yang telah memanfaatkan BUMN menjadi “sapi perah”. Sejak
itu tidak ada lagi kasus-kasus korupsi yang betul-betul ditangani dengan baik.
Kerusakan institusi dan perilaku aktor negara ini telah menjadi benih yang kuat
untukk menular ke dalam institusi swasta yang menempel langsung disamping negara.
Sistem yang tercipta akhirnya tidak terhindarkan menjadi normal dan bersifat
anomali sehingga rentan krisis.
Disinilah kemudian terjadi kegagalan
pemerintah (state failure) dalam memainkan perannya di dalam sistem
ekonomi politik yang sehat. Kelemahan dalam membangun sistem ekonomi politik
menular ke lembaga swasta sehingga dunia usahapun dipenuhi distorsi, perburuan
rente dan inefisiensi. Kegagalan kebijakan deregulasi sektor keuangan, yang
bertujuan memacu arus masuk modal asing ke Indonesia, dapat ditelusuri melalui
logika dan nalar berfikir seperti ini.
Pada awal tahun 1980-an kemudian
terlihat gejala-gejala perlambatan pertumbuhan ekonomi karena masa bonansa
ekspor minyak mulai menyurut. Injeksi modal yang dilakukan tidak produktif
sehingga harus terus ditopang oleh hutang luar negeri. Karena pemborosan yang
terjadi, maka nilai tambah yang tercipta tidak mengarah pada produktifitas
modal yang diinjeksikan. Ekonomi Indonesia terus haus terhadap tambahan modal
dan hutang luar negeri.
Bahkan pada pertengahan tahun
1980-an itu pertumbuhan hutang luar negeri terus berlangsung dan justeru
semakin besar. Ini menunjukkan bahwa Indonesia sudah semakin terjerat dalam
perangkap hutang luar negeri (debt trap). Gejala ini berlangsung sejalan
dengan semakin besarnya pelarian modal negatif ke luar negeri karena pembayaran
cicilan pokok dan bunga hutang sudah lebih besar dari jumlah hutang baru yang
diterima.
Transaksi hutang luar negeri
pemerintah telah menjadi bencana bagi perekonomian nasional ketika terbukti
dari akumulasi yang besar dari pembayaran cicilan pokok dan bunganya. Aliran
modal keluar melalui transaksi hutang ini telah menyebabkan kehilangan
kesempatan investasi (oppurtunity lost) sehingga daya dorong fiskal
secara langsung dari tahun ke tahun mengalami penurunan. Kebanyakan penerimaan
pemerintah dari pajak masuk ke dalam pengeluaran rutin, yang kebanyakan dipakai
untuk membayar hutang luar negeri. Kebijakan hutang luar negeri Indonesia
akhirnya memang menjadi catatan sejarah ekonomi yang buruk dan sekaligus dapat
dicatat sebagai suatu kecelakaan sejarah. Sampai pada kejadian ini, pemerintah
tetap merasa santai seolah-olah tidak terjadi apapun dan tidak ada upaya yang
signifikan untuk mengurangi hutang luar negeri. Tidak ada perubahan kebijakan
yang mengantisipasi dengan cepat permasalahan hutang luar negeri ini sehingga
terus menumpuk tanpa penyelesaian. Rutinitas perencanaan fiskal terus
dijalankan tanpa makna yang berarti untuk mengurangi ketergantungan terhadap
hutang luar negeri tersebut. Namun, akhirnya muncul kesadaran ketika semuanya
sudah terlambat, penyakit sudah terlanjur menjadi akut dan kronis, sehingga
sulit rasanya untuk bisa keluar dari cengkeraman hutang luar negeri.
III.
PENUTUP
Kesimpulan
Yang menjadi masalah disini bukanlah
ada tidaknya pendekatan komprehensif terhadap masalah-masalah utang Negara
berkembang. Masalahnya adalah peran apa yang akan dimainkan oleh pemerintah
Negara-negara maju dan bagaimana cara mereka memudahkan restrukturisasi yang
dibutuhkan bagi penanggulangan beban utang Negara berkembang.
Pendekatan yang digunakan saat ini,
yakni memberikan kredit baru tanpa pembiayaan langsung dari Negara-negara
industry, sudah tidak sesuai lagi. Krisis utang Negara berkembang tidak dapat
lagi diperlakuan sebagai masalah perbankan saja. Masalah ini juga merupakan
masalah pertumbuhan ekonomi, masalah perdagangan, dan masalah geopolitik. Suatu
pendekatan baru yang memberikan keringanan utang dan dukungan pembiayaan
seluruh Negara industry tidak dapat dihindari, bila dunia tidak ingin mengalami
suatu krisis keuangan atau erosi stabilitas ekonomi dan politik Negara
berkembang yang berkelanjutan.
Krisis ekonomi
adalah masalah kita berasama,untuk kita harus bersama-sama untuk menanggulangi
masalah ekonomi ini . baik moril maupun secara materil agar masalah krisis
ekonoi tidak berkelanjutan dan semakin membuat terpuruknya bangsa ini.
DAFTAR PUSTAKA
Sumber Penulisan :
·
A.Bogdanowicz Christine-Bindert, 1989 Pemecahan Krisis Ekonomi, Penerbit IBEK
Press, Tomang Jakarta Barat.
Hai semua,
BalasHapusSaya ibu Sandra Ovia, pemberi pinjaman wang swasta, adalah di dalam kamu kredit yang buruk? Anda perlu untuk memperbaiki kewangan? Saya telah didaftarkan dan diluluskan oleh kerajaan untuk mengawal institusi kewangan. Saya memberi pinjaman kepada bereputasi-bereputasi dan individu untuk tahap Avail pada 2%. Saya memberi pinjaman kepada tempatan dan Lapangan Terbang Antarabangsa kepada semua orang yang memerlukan pinjaman, dan yang boleh membayar balik pinjaman, di seluruh dunia. Saya memberi pinjaman melalui pemindahan akaun atau cek bank disahkan untuk apa yang pernah anda menerima sebuah bank di negara ini. Ia tidak memerlukan banyak kertas kerja. Jika anda ingin mendapatkan
meminjam daripada bereputasi kami. Anda boleh menghubungi kami melalui
sandraovialoanfirm@gmail.com
Terima kasih
Sandra firma Ovia Pinjaman
Ibu Sandra Ovia
BalasHapusSaya telah berpikir bahwa semua perusahaan pinjaman online curang sampai saya bertemu dengan perusahaan pinjaman Suzan yang meminjamkan uang tanpa membayar lebih dulu.
Nama saya Amisha, saya ingin menggunakan media ini untuk memperingatkan orang-orang yang mencari pinjaman internet di Asia dan di seluruh dunia untuk berhati-hati, karena mereka menipu dan meminjamkan pinjaman palsu di internet.
Saya ingin membagikan kesaksian saya tentang bagaimana seorang teman membawa saya ke pemberi pinjaman asli, setelah itu saya scammed oleh beberapa kreditor di internet. Saya hampir kehilangan harapan sampai saya bertemu kreditur terpercaya ini bernama perusahaan Suzan investment. Perusahaan suzan meminjamkan pinjaman tanpa jaminan sebesar 600 juta rupiah (Rp600.000.000) dalam waktu kurang dari 48 jam tanpa tekanan.
Saya sangat terkejut dan senang menerima pinjaman saya. Saya berjanji bahwa saya akan berbagi kabar baik sehingga orang bisa mendapatkan pinjaman mudah tanpa stres. Jadi jika Anda memerlukan pinjaman, hubungi mereka melalui email: (Suzaninvestment@gmail.com) Anda tidak akan kecewa mendapatkan pinjaman jika memenuhi persyaratan.
Anda juga bisa menghubungi saya: (Ammisha1213@gmail.com) jika Anda memerlukan bantuan atau informasi lebih lanjut